Ibnu Taymiah Menolak Tafsir Nabi saw.! (2)

| |


Ibnu Taymiah Menolak Tafsir Nabi Saw (2)

Setelah Anda saksikan bagaimana bantahan atas tuduhan Ibnu Taymiah bahwa hadis tentang tafsir ayat al-Mawaddah adalah lemah dan kidzbun, dan ayat tersbut tidak ada sangkut pautnya dengan perintah kecintaan kepada al-qurba, kerabat, ahlulbait nabi saw.. Kini mari kita ikuti komentar lanjutan Ibnu taymiah dalam masalah ini.

Menyoroti Alasan Kedua

Adapun alasan mereka yang kedua juga tidak benar karena kita dengar sendiri bahwa Ibnu Hajar memuji perawi yang berfaham Syi’ah itu dengan kata-kata: (لَكِنَّهُ صَدُوْقٌ) , dan memang demikianlah seharusnya akhlak dan perangai para pangikut setia Ahlulbait as. Kita tidak heran jika Husain Al-Asyqar dikenal sebagai seorang yang jujur dan berperilaku baik, sebab memang demikian didikan yang diberikan oleh para Imam Ahlulbait as. kepada para pengikut mereka.

Peryataan yang sama juga datang dari Ibnu Hibban sebagaimana dimuat oleh Al-Dzahabi dalam Tahdzib al Tahdzib[1], ia menegaskan bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam daftar para perawi tsiqaat, terpecaya.

Al Dzahabi juga memuat komentar Yahya ibn Ma’in, Ibnu Junaid berkata, ”Aku mendengar Ibnu Ma’in menyebut-nyebut Husain al- Asyqar, dan mengatakan ia tergolong Syi’ah yang “ekstrim”, aku bertanya kepadanya, bagaimana hadis riwayatnya? Ia menjawab, “Tidak apa-apa”. Aku bertanya lagi, ‘Apakah ia seorang yang sangat jujur?’ Ia menjawab, “Ya, aku menulis hadis darinya”.[2]

Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah Anda meriwayatkan hadis dari Husain al Asyqar? Ia menjawab, “Ya”. Ia menurutku bukan orang yang suka berbohong. Walau pun Imam Ahmad mengakui bahwa Al Asyqar berfaham Syi’ah.[3]

Husain al Asyqar di Mata Para Ulama Ahli Jarh wa Ta’dîl

Dalam Tahdzib al Thdzib disebutkan pernyataan Ibnu Ma’in sebagai berikut: Ibnu Junaid berkata, “Aku mendengar Ibnu Ma’in menyebut-nyebut Al Asyqar, ia mengatakan, “Dia adalah seorang dari Syi’ah Ghaliyah (ekstrim). Aku bertanya, bagaimana hadisnya? Ia menjawab, “Tidak apa-apa. Aku bertanya lagi, “ Ia jujur?” Ibnu Ma’in menjawab,” Ya. Aku menulis hadis darinya.

Ibnu Hibban menggolongkannya sebagai periwayat tsiqah (jujur terpercaya). Ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Apakah Anda meriwayatkan dari Husain al Asyqar? Ia menjawab “Menurut saya dia bukan seorang pembohong. Ia mengatakan penegasan ini kendati ia mengakui kesyi’ahannya.

Ayat al Mawaddah adalah Makkiyah

Ayat yang sedang kita bahas ini terdapat pada Surah asy-Syûrâ yang merupakan surah Makkiyah (turun sebelum Hijrah). Waktu itu Hasan dan Husain belum lahir, bahkan Ali dan Fatimah pun belum menikah. Kalau ayat ini dialamatkan kepada mereka tentu tidak tepat, karena berarti kita diperintah untuk mencintai orang-orang yang sebagian darinya belum lahir ke dunia.

Seperti telah Anda baca bagaimana Ibnu Taimiyah mengklaim bahwa para ulama telah bersepakat bahwa seluruh ayat-ayat surah asy- Syûrâ adalah Makkiyah tanpa terkecuali, “Dan yang menerangkan hal itu (kepalsuannya) ialah bahwa ayat ini turun di Makkah berdasarkan kesepakatan ulama, ahli ilmu.”

Dalam hal ini, perlu diperhatikan beberapa poin:

1) Sebelumnya saya ingin menjelasakan bahwa untuk membedakan antara ayat-ayat Makkiyah (turun sebelum hijrah) dan ayat-ayat Madaniyah (turun setelah hijrah) itu dapat dilakukan dengan dua cara:

Cara Pertama: Mengkaji dan memperhatikan kandungan dan isi ayat-ayat itu sendiri, karena hal itu akan dapat dijadikan pijakan yang menentukan. Para ulama dan pakar tafsir memberikan patokan umum bahwa setiap ayat yang mengandung masalah-masalah:

A) Tauhid dan ketuhanan,

B) Kritikan terhadap penyembahan patung dan berhala,

C) Ajakan untuk beriman kepada Allah dan hari akhir,

D) Kisah-kisah tentang umat terdahulu dan yang semisal nya,

maka ia termasuk dalam kategori Makkiyah, karena situasi dan fase tabligh di Makkah sebelum hijrah menuntut penekanan masalah-masalah di atas.

Adapun ayat-ayat yang bertemakan:

A) Penjelasan hukum ibadah dan mu’amalah, masalah jihad dan semua yang berkaitan dengannya, serta perincian undang-undang sosial, ekonomi dan segala bentuk perjanjian antar negara (pemerintahan),

B) Ajakan kepada Ahlul Kitab untuk menganut agama Islam dan kritikan atas akidah mereka yang menyimpang dan sikap mereka yang tidak konsisten terhadap ajaran mereka sendiri.

C) Bagaimana sifat dan sikap kaum munafik, membongkar makar dan kegiatan terselubung mereka yang jahat dan memperingatkan kaum Muslim akan bahaya yang diakibatkannya atas Islam dan eksistensi ajarannya, maka ia termasuk dalam kategori ayat-ayat Madaniyah.

Dengan cara ini para ulama dan pakar tafsir telah mampu mengungkap banyak kesamaran ayat-ayat yang masih diperselisihkan statusnya.

Jika Ibnu Taimiyah dan para pengagumnya menjadikan cara ini sebagai tolok ukur dan pedoman untuk menentukan status sebuah ayat, niscaya dengan mudah mereka akan memastikan bahwa ayat al Mawaddah adalah ayat Madaniyah, karena kandungannya sangat sesuai dengan kondisi dan fase da’wah di kota Madinah saat itu, sebab tidak logis kalau Nabi saw. mengajukan permohonan seperti yang termuat dalam ayat tersebut kepada kaum kafir Makkah yang memusuhi beliau dan selalu mencari-cari kesempatan untuk menghabisi nyawa beliau.

Permintaan untuk mencintai Ahlulbait as. seperti ditegaskan dalam ayat al Mawaddah tersebut sangat tepat jika diajukan kepada umat Islam setelah mereka mencapai sebagian besar tujuan mereka dan mulai hidup dalam situasi yang tenang dan menguntungkan.

Cara Kedua: Kembali kepada riwayat, dan peryataan para ulama dan pakar tafsir dan mereka yang banyak berkecimpung dalam kajian-kajian Al-Quran.

Apabila cara ini yang diandalkan oleb Ibnu Taimiyah dan para pemujanya, maka tentu dengan mudah mereka akan menemukan pendapat yang benar, karena para ulama dengan tegas telah menyatakan bahwa ayat Al Mawaddah dan beberapa ayat lainnya pada surah Asy-Syûrâ adalah Madaniyah kendati status surah itu Makkiyah.

Burhanuddin Abu lshaq Al Biqa’i (wafal tahun 85 H) dalam kitabnya Nadzmu Al Durar Fi Tanaasuqi Al Aayaat Wa Al Suwar menegaskan sebagai berikut, “ Surah Al Syûrâ Makkiyah kecuali ayat: 23, 24, 25 dan 27[4].

Pernyataan serupa juga datang dari beberapa ulama lain di bawah ini akan saya sebutkan sebagian darinya.

A) Al Khazin dalam tafsirnya: “Surah al-Syura berstatus Makkiyah dalam pendapat Ibnu Ibbas dan jumhur mufassirin. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas,” kecuali empat ayat turun di Madinah, yang pertama adalah ayat al Mawaddah.”[5] Lalu ia menambahkan, “Dan sebenarya bukan hanya empat ayat ini saja yang berstatus Madaniyah, di sana masih ada beberapa ayat lain yang juga turun di Madinah, sebagian ulama berpandangan bahwa ayat 39 sampai dengan ayat 44 juga Madaniyah.[6]

B) Nidzamuddin Al Nisaburi dalam tafsimya mengatakan, “Surah Asy-Syûrâ Makiyah kecuali empat ayat diantaranya adalah ayat Al Mawaddah sampai akhir, ia turun di Madinah.[7]

C) Asy Syaukani menegaskan, “Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Qatadah bahwa surah ini makkiyah kecuali empat ayat yang turun di Madinah yaitu ayat al Mawaddah sampai akhir surah”.[8]

D) Al Hafidz Ibnu Jazzi al Kalbi mengatakan, “Surah asy-Syûrâ Makkiyah kecuali ayat 23,24,25 dan 27 adalah Madaniyah.[9]

E) Al Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, “ Surah asy-Syûrâ Makkiyah dalam pendapat Hasan, Ikrimah, Atha’ dan jabir. Dan Ibnu Abbas dan Qatadah mengecualikan empat ayat, ia turun di Madinah, yaitu ayat al Mawaddah hingga akhir”.[10]

F) Al Maraghi, Ahmad Musthafa mengatakan, “Surah Al Syûrâ Makkiyah kecuali ayat 23,24,25,26 dan 27, ia Madaniyah.”.

G) Farid Wajdi dalam kitab al Mushhaf Al Mufassar, “ Asy-Syuura Makkiyah kecuali ayat 23,25 dan 27, ia Madaniyyah.”[11]

Sebenarnya dengan keberatan yang ia lontarkan, Ibnu Taimiyah justru membuktikan kelemahannya sendiri dalam ilmu-ilmu Al quran. Ia tidak mengerti bahwa satatus Makkiyah yang disandang sebuah surah tidak berarti seluruh ayat-ayatnya tanpa terkecuali turun sebelum hijrah Nabi saw. ke Madinah.

Dan perlu saya tambahkan bahwa pengecualian seperti tersebut di atas tidak terbatas hanya pada surat Al Syûrâ saja akan tetapi juga terdapat pada surah-surah yang lain. Hal ini terjadi karena peletakan ayat-ayat Al quran tidak ditetapkan berdasarkan urutan turunnya namun ditetapkan oleh Nabi saw. secara langsung berdasarkan wahyu (tauqifi).

Untuk lebih jelasnya akan saya sebutkan beberapa contoh pengecualian tersebut pada beberapa surah yang saya kutipkan dari beberapa kitab tafsir yang menjadi andalan banyak ulama.

1. Surah Al ‘Ankabut Makiyah kecuali sepuluh ayat pertama ia Madaniyah[12].

2. Surah Al Kahfi ia Makkiyah kecuali tujuh ayat pertama dan ayat 28.[13]

3. Surat Huud Makkiyah kecuali ayat 12 dan ayat 114.[14]

4. Surah Maryam Makkiyah kecuali ayat 71.

5. Surah Al Ra’ad Makkiyah kecuali ayat 31 dan beberapa ayat lain. Atau justru sebaliknya, semuanya Madaniyah kecuali ayat-ayat tertentu saja yang makkiyah.[15]

6. Surah Ibrahim Makkiyah kecuali ayai 28 dan ayat berikutnya.[16]

7. Surah Alisraa’ Makkiyah kecuali ayat 76 sampai ayat 80.[17]

8. Surah A1-Haj Makkiyah kecuali ayat 11.[18]

9. Surah Al Nahl Makkiyah kecuali ayal l26.[19]

10. Surah Al Qashash Makkiyah kecuali ayal 52.[20]

11. Surah Al Qamar Makiyah kecuali ayat 45.[21]

12. Surat Yunus Makkiyah kecuali ayat 94 dan ayat berikutnya.[22]

Setelah apa yang saya sebutkan di atas, kalau pun ternyata mereka masih keberatan dan tetap bersikeras mengatakan bahwa ayat al Mawaddah adalah makkiyah, maka perlu diketahui bahwa status kemakkiyahan itu tidak berarti bertentangan dengan tafsrian yang saya utarakan, dan kenyataan bahwa Imam Hasan dan Imam Husain sa’at itu belum lahir tidak cukup alasan untuk membatalkan penafsiran itu, hal itu terbukti karena beberapa alasan:

Pertama: Perintah untuk mencintai Dzawi al Qurbâ (keluarga dekat) yang ada dalam ayat tersebut merupakan hukum Islam yang besifat umum dan mencakup mereka yang sudah lahir mau pun yang belum, tidak terbatas pada mereka yang sudah lahir saja.

Perintah yang ada pada ayat Al Mawaddah tersebut sama dengan perintah untuk berwasiat yang terdapat dalam ayat 11-12 surah al Baqarah.

Perintah dalam ayat di atas bukan berarti terbatas pada anak-anak yang sudah lahir saja ketika ayat itu turun, akan tetapi juga berlaku untuk anak-anak yang akan lahir setelah diturunkannya ayat tersebut.

Kedua: Andai kita terima anggapan mereka bahwa ayat itu turun di Makkah sebelum hijrah (Makkiyah), hal itu tidak berarti menafsirkan ayat Al Mawaddah dengan perintah mencintai Ahlulbait as. (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as.) salah dan menyimpang, sebab tidak tertutup kemungkinan bahwa ayat itu turun dua kali, sekali di Makkah sebelum hijrah dan sekali lagi setelah hijrah di Madinah setelah Imam Ali dan Fatimah as. menikah, dan Hasan dan Husain telah lahir. Yang demikain bukan hal ganjil dan mengada-ada, dan banyak kita temukan dalam Al qur’an ayat-ayat yang dinyatakan para ulama dan ahli tafsir turun dua kali atau bahkan lebih.

Jalaluddin al Suyuthi membahas panjang lebar jenis ini dalam Al-Itqaannya, ia mengatakan, “(Jenis kesebelas): Ayat-ayat yang turun berulang kali. Sekelompok ulama’ klasik dan kontemporer menegaskan bahwa di antara ayat-ayat Al qur’an ada yang turun berulang kali.” Kemudian ia menyebutkan beberap contoh tentangnya.

Ibnu Hajar pun menegaskan bahwa hal itu tidak ada halangan.

Jadi apa salahnya jika kita menyakini bahwa ayat Al Mawaddah ini termasuk salah satu darinya!

Ketiga: Tidak tertutup kemungkinan juga bahwa Nabi saw. menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah untuk mencintai Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as. setelah mereka berdua menikah dan dikarunia dua putra suci tersebut. Dan itu artinya beberapa tahun setelah ayat itu turun barulah Nabi saw. menafsirkannya bahwa yang dimaksud adalah kecintaan kepada mereka as. Dan yang demikian bukan hal yang ganjil. Para ulama dan pakar ilmu-ilmu Al quran menyebutnya dalam pembahasan ayat-ayat yang keterengan hukumnya dijelaskan belakangan jauh setelah turunnya ayat.

Jalaluddin al Suyuthi dalam Itqaannya menerangkan, “(Jenis kedua belas): Ayat-ayat yang hukumnya terlambat dari turunnya dan turunnya terlambat dari hukmnya.”

Al Zarkasyi dalam Al Burhannya menegaskan sebagai berikut, “Dan terkadang turunnya sebuah ayat itu mendahului hukumnya…“. Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh tentangnya.

Jadi, penafsiran yang saya sebutkan tidaklah menyimpang walau pun kita meyakini bahwa ayat ini turun di Makkah sebelum Imam Ali dan Siti Fatimah menikah dan Hasan dan Husain as. belum lahir. Ayat ini adalah salah satu dari contoh dari jenis itu.

Keempat: Atau Nabi saw. setelah menerima ayat tersebut langsung menafsirkannya, dan ini termasuk salah satu tanda-tanda kenabian dan sebagai bukti keagungan mereka yang nama-namanya beliau sebut kendati sebagia dari mereka belum lahir. Sebagaimana Allah SWT mengabarka kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa as. akan kedatangan nabi akhir zaman Muhammad saw. dan memperkenal kan kepada mereka keagungan dan kewajiban atas mereka terhadapnya.

Tidaklah aneh apabila Nabi Muhammad saw. menyampaikan kepada umat beliau kabar gembira akan lahirnya kedua cucu suci beliau; Hasan dan Husain as., sama dengan banyak kabar ghaib yang akan terjadi di masa akan terjadi sepeninggal beliau, bahkan jauh setelah beliau wafat , seperti pemberitahuan Nabi saw. tentang:

1. Akan datangnya dua belas khalifah/pemimpin setelah beliau.

2. Tercetusnya perang Jamal , Shiffin dan Nahrawan, yang dikobarkan oleh para pemberontak terhadap Khalifah yang sah Ali ibn Ali Thalib as. dan Nabi saw. memerintahkan Imam Ali agar memerangi mereka.

3. Adanya kedengkian yang tependam rapi di dalam dada-dada sebagia sahabat terhadap Ali as. yang tidak akan mereka tampakkan kecuali setelah Nabi saw. wafat.

4. Imam Ali as. akan gugur syahid dengan hunusan pedang seorang yang paling celaka dan paling durhaka; asyqaa al akhiriin, dan janggut beliau akan terbasahi darah suci yang menyembur yang merubahnya menjadi kemerah-merahan.

5. Nasib putri tercinta Nabi saw.; Fatimah as., dimana beliau jelaskan bahwa ia adalah keluarga pertama yang akan menyusul kematian beliau saw.

6. Derita yang akan dialami Imam Hasan cucu tercinta beliau saw., serta madu beracun yang merengut jiwa beliau as.

7. Tragedi Karbala yang akan dialami Imam Husain as. dan kelurga beliau, dimana sebagia umat akan membantai beliau dengan penuh kekejian dan kezaliman.

8. Nasib yang akan dialami Ahlulbait dan anak cucu Nabi saw. , dimana sebagai umat akan mengejar-ngejar, membantai dan memperlakukan mereka dengan kejam dan zalim.

9. Akan terjadinya kemurtadan masal yang dialami oleh jumlah yang tidak sedikit dari sahabat-sahabat beliau saw., seperti diriwayatkan Bukhari dan para muhaddis lain tentang hadis Haudh.

10. dll.

Semua itu telah terjadi persis seperti apa yang dikabarkan Nabi saw. dalam sabda-sabda beliau kepada kita dan telah menjadi bagian dari lembaran-lembaran sejarah kaum Muslim.

Selain itu semua, bahwa para sahabat dan tabi’in yang selalu dibanggakan Ibnu Taymiah dan para pemujanya sebagai Salafush Shaleh telah memahami ayat tersebut sebagai perintah mencintai Ahlulbait Nabi saw., seperti dapat kita baca dalam kitab-kitab tafsir para ulama Ahlusunnah!

Dengan demikian dapat disimulkan bahwa penolakan Ibnu Taymiah terhadap tafsir Nabi sa. Adalah sangat tidak beralasan dan justru sangat tendensius. Usahanya itu hanya sia-sia belaka… dan justru mempermalukan dirinya sendiri. Dan sepanjang masa akan menjadi bahan tertawaan dan cemoohan umat Islam generasi demi generasi!

_______________________________

[1] Tahdzîb al Tahdzîb,2/336.

[2] Baca al ‘Atbu al Jamil:55-56.

[3] Al Qul al Fashl.1,484.

[4] Lihat Târîkh Al Qur’an karya Az Zanjani, hal 85.

[5] Tafsir al Khazin.6,98.

[6] Perlu diketahui bahwa penentuan kategori surah, apakah ia Makkiyah atau Madaniyah itu ditinjau dari kebanyakan ayat-ayatnya, jika ayat yang terbanyak Makiyah seperti surat Al Syura misalnya maka surah tersebut juga dikategorikan Makiyah dan begitu juga sebaliknya. Demikian diterangkan para ulama.

[7] Tafsir Gharaib al Qur’an (dicetak dipinggir tafsir ath Thabari).25,9.

[8] Tafsir Fathu al Qadiir.4, 510.

[9] At Tashîl Fi ‘Uluum al Tanzîl.4, 17.

[10] Al Jâmi’ Li Ahkâm al Qur’an.16,1.

[11]Al Mush-haf Al Mufassar:638.

[12] Tafsir al Thabari.20,86, tafsir Al Qurthubi .20,323 dan tafsir al Sirâj al Munir.3,16.

[13] Tafsir Al Qurthubi .10,346 dan Al Itqân.2,16.

[14] Tafsir Al Qurthubi .9,1 dan tafsir al Sirâj al Munir.2,40

[15] Tafsir al Thabari.9,278, dan tafsir Mafâtih al Ghaib.12,261.

[16] Tafsir Al Qurthubi .10,203, Mafâtih al Ghaib.5,540 dan Al Sirâj al Munir.2,261.

[17]Tafsir Al Qurthubi i9,338 dan Al Sirâj al Munir.2,159.

[18] Tafsir Al Qurthubi 12, 1dan Al Sirâj al Munir.2,511 dan Mafâtih al Ghaib.6,206.

[19] Tafsir Al Qurthubi.5,65 dan Al Sirâj al Munir.2,25.

[20] Tafsir Al Qurthubi.13,245 dan Mafâtih al Ghaib.6,586.

[21] Al Sirâj al Munir.4,136.

[22] Mafâtih al Ghaib.4,774, Al Itqân.1,15 dan Al Sirâj al Munir.3,2.

4 Responses to “Ibnu Taymiah Menolak Tafsir Nabi saw.! (2)”

  1. ih.. naif sekali!

    ini sih bukan serangan ke ibnu taimiyyah.

    ini jelas-jelas serangan terhadap seluruh sahabat yang diagungkan imam ali itu.

    ******************
    -Jawaban Kami-

    Salam.
    Apa maksudnya

    ini jelas-jelas serangan terhadap seluruh sahabat yang diagungkan imam ali itu.

  2. Tidak usah dihiraukan yang ngaku Pecinta Ali itu
    kadang-kadang susah jika seseorang tidak mengerti pembicaraan dengan benar

  3. Kok sampe detik ini ngga ada komen dari Pengagum Taimiyyah (PT) ya?
    Mungkin ini alasan-alasannya:
    (1) Dalil-dalil mas Zainal banyak, padat & berkualitas, jadi PT udah kolaps duluan ngga berani masuk
    (2) Para pembela Zainal udah siap-siap & pasang kuda-kuda, dimana PT udah bisa meraba-raba bahwa kekuatannya tidak mencukupi, jadi ngga berani coba-coba
    (3) Terus mencari dalil dan dalih untuk menyanggah argumen dari mas Zainal, tapi ya itu ngga ketemu-ketemu
    (4) Menyadari sepenuhnya bahwa Ibnu Taimiyah memang keliru. Mudah-mudahan

    Damai….damai
    Salam kenal

  4. Dear all,

    Kita hidup di jaman yang berbeda di mana ulama-ulama yang dibicarakan dalam topik ini hidup. Kita tidak tau hal yang sebenarnya tentang mereka. Jadi, ngapain sih ngungkit-ngungkit lagi. Toh, kalau ibnu taimiyah itu bohong atau benar apakah ada pengaruhnya sekarang. Kalau tidak sesuai ya ngga usah diambil. gitu aja kok repot. Jadi, ngga usah nyebut kalo ibnu taimiyah itu bohong karena berat pertanggung jawabannya.

    Bayu

    Kami menjawab:

    Kami tidak mengerti kamu itu mengambil mutiara hikmah dari mana kok bisa bicara begitu?!
    Kalau ada seorang yang dianggap alim berbicara menyesatkan, itu pasti akan sangat berpengaruh atas kaum awam yang tertipu olehnya…. ia hareus dibongkar agar tidak banyka jatuh korban…. Mirza Ghulam Ahamd adalah mantan ulama yang kemudian sesat dan menagku sebagai nabi! Apa kamu akan mengatakan buat apa sih dibicarakan? pinjam ucapan kamu :Jadi, ngapain sih ngungkit-ngungkit lagi. Toh, kalau Mirza itu bohong atau benar apakah ada pengaruhnya sekarang. Kalau tidak sesuai ya ngga usah diambil. gitu aja kok repot.
    Kalau semua pakai logika seperti kamu buat apa para ulama menulis buku membuktikan kebenaran Islam?!
    Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.