Ibnu Taymiah Memalsu Mazhab Salaf

| |


Berbohong atas nama Salaf dan pembesar umat sepertinya telah menjadi tabi’at kedua “Syeikhul Islam” Ibnu Taymiah…. Dalam artikel sebelumnya bagaimana pembaca saksikan secara langsung kepalsuan dan kebohongan klaim Ibnu Taymiah bahwa dalam masalah A telah terjadi kesepatan ulama Islam… dalam masalah B telah terjadi kesepatan para Ahli Hadis…. Dalam masalah itu para sahabat Nabi telah bersepakat dan begitu seterusnya…. Seakan ia lupa bahwa kepalsuannya akan terbongkar pada suatu hari kelak, atau paling tidak kelak di hari kiamat Allah SWT akan memintanya untuk bertanggung jawabkan semua dusta dan kebohongan!

Kini, dan untuk beberapaa artikel berikutnya, saya akan mengajak Anda menyaksikan langsung kepalsuan klaim-klaim Ibnu Taymiah dalam masalah ayat-ayat atau khabar-khabar shifatiyah.

Namun sebelumnya, saya ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan ayat-ayat atau khabar-khabar shifatiyah, yang menjadi permalasahan pelik di masa awal Islam dan hingga hari pun?

Sebagian Ahli Kalam, khususnya kaum Mujassimah membagi macam tauhid menjadi tiga; tauhid dalam Rububiyah (penciptaan dan pengaturan), tauhid dalam Ulûhiyah (penyembahan), dan yang ketiga tauhid dalam asmâ’ dan shifât. Terlepas dari apakah pembagian di atas dapat ditemukan bukti kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunnah atau ia sekedar akal-akalannya sebagian Ahli Kalam belaka!

Yang mereka maksud dengan tauhid dalam asmâ’ dan shifât seperti terlihat nyata dari kupasan dan ulasan para peyakinnya adalah menetapkan sifat untuk Allah seperti yang Allah sifati Dzatnya dalam Al Qur’an ataupun dalam hadis.

Sampai batas ini sepertinya tidak ada masalah yang perlu diributkan. Akan tetapi ketika mendalaminya, maka kita akan menyaksikan terjadinya perang pendapat dan saling lempar tuduhan dan gelar memojokkan.

Terkait dengan ayat-ayat dan khabar-khabar shifâtiyah para ulama, Ahli Kalam Islam terbagi menjadi tiga kubu yang saling bertentangan.

Kubu Pertama, Kubu Mufawwidhah, yaitu kubu yang menerima ayat-ayat/khabar-khabar yang menyebutkan sifat tertentu, seperti يد-وجه-ينزل-هرول dan semisalnya tanpa memberikan komentar apapun dan tanpa memaknainya dengan makna apapun. Mereka menyerahkan penafsiran dan pemaknaannya kepada Allah SWT.

Kubu Kedua, Kubu Mu’awwilah yaitu kubu yang menakwilkan setiap kata seperti pada contoh di atas dengan makna yang sesuai dengannya demi menyucikan Allah SWT dari penyerupakannya dengan makhluk-Nya. Kubu ini sering menjadi sasaran ejekan oleh kubu ketiga di bawah ini dengan ejekan Mu’aththilah/yaitu yang menafikan sifat atas Allah.[1]

Kubu Ketika, Kubu Mujassimah/Musyabbihah yaitu kubu yang memaknai taks-teks shifatiyah dengan makna apa adanya tanda melibatkan konsep-konsep keindahan bahasa Arab seperti majâz, kinâyah dll. Kata: يد diartikan tangan, kata وجهdiartikan wajah, kata ينزل diartikan turun, kata هرول diartikan lari-lari kecil, kata: ضحك diartikan tertawa dan demikian seterusnya. Kendati untuk meloloskan diri dari jeratan tuduhan tasybih/tajsim yang sangat terkecam itu sebagian mereka menutup setiap penyebutan pemaknaan sifat tersebut dengan kata-kata: tidak seperti tangan makhluk-Nya, tidak seperti wajah makhluk-Nya…. Dan seterusnya. Walaupun penyebutan kata-kata terakhirnya ini sulit mengelakkan tuduhan tasybih/tajsim dari mereka.

Kali ini saya tidak dalam kapasitas sebagai pembanding mana di antara ketiga kubu ini yang paling mewakili kebenaran dan akidah Islam yang lurus dalam mansalah Shifât Allah SWT. Akan tetapi, saya akan mengajak Anda meneliti bagaimana sebenarnya Mazhab Salaf umat ini dalam masalah menyikapi ayat-ayat Shifâtiyah? Dan apa klaim Ibnu Taymiah tentang mazhab Salaf?

Untuk itu, saya akan menyajikan laporan dan keterangan asy Syahrastâni (w. 548 H) dalam kitab al Milal wa an Nihal-nya, mengingat apa yang ia sebutkan cukup detail dan dapat mewakili dalam menggambarkan ragam aliran dan kubu dalam menyikapi masalah ini, kemudian saya susul dengan menyebut ketarangan Ibnu Taymiah yang memuat klaim yang akan menjadi sorotan kita kali ini.

Asy Syahrastâni berkata, “Ketahuilah bahwa kelompok yang banyak dari Salaf mereka menetapkan untuk Allah sifat-sifat azaliyah seperti: ilmu, qudrat (kemampuan), hayât (hidup), iradat (kehendak), sam’u (pendengaran), bashar (penglihatan), kalam (berfirman), jalâl (keperkasaan), ikrâm (kemuliaan), jûd (derma), in’âm (memberi nikmat), izzah (kejayaan /keperkasaan) dan ‘adzamah (keagungan). Mereka tidak membedakan antara sifat Dzat dan sifat fi’il (pekerjaan), mereka menyebutkannya dalam satu rangkaian. Demikian pula mereka menetapkan sifat-sifat khabariyah, seperti yadain, dan wajhun. Mereka tidak menakwilkannya, mereka berkata, ‘Ini adalah sifat-sifat telah datang dalam teks Syari’at, maka kami menamainya dengan sifat-sifat khabariyah.’

Dan dikarenakan kelompok Mu’tazilah menafikan sifat-sifat, sedangkan Salaf menetapkannya, maka Salaf dinamai Shifâtiyyah, sementara Mu’tazilah dinama Mu’aththilah.

Sebagian Salaf berlebihan dalam sikap mereka dalam menetapkan sifat sampai-sampai mereka terjatuh dalam tasybîh/menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sementara sebagian lainnya membatasi diri pada sifat-sifat yang ditunjukkan oleh pekerjaan dan apa yang datang dalam khabar. Kelompok terakhir ini berpecah menjadi dua kubu, sebagian mereka menakwilkannya sekira masih ditoleransi oleh lafadznya, dan di antara mereka ada yang berhenti tidak menakwilkannya. Mereka berkata, ‘Berdasarkan hukum akal kita mengetahui bahwa Allah tidak menyerupai sesuatu apapun dan tidak diserupai oleh apapun dari makhluk-makhluk-Nya. Kami pastikan hal itu, hanya saja kami tidak mengatahui makna lafadz yang datang dalam nash, seperti firman-Nya:

{الرحمن على العرش استوى}

Dan seperti firman-Nya:

{خلقتُ بِيَدَيَّ}

Dan firman-Nya:

{وجاء رَبُّكَ}

dan lain sebagainya. Kami tidak dibebani untuk mengetahui tafsir dan takwil ayat-ayat seperti itu. Taklif/beban syar’i yang datang adalah untuk mempercayai bahwa Dia tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak seperti sesuatu apapun. Dan itu telah kami tetapkan.

Kemudian sekelompok dari kalangan mutakhkhirîn (yang datang belakangan) menambah dari apa yang diucapkan Salaf, mereka berkata, ‘Kita harus memberlakukan pemaknaannya secara dzahir/apa adanya, dan menafsirkannya sesuai denga khabar yang datang, tanpa menakwilkannya dan berhenti (seperti dua kubu sebelumnya_pen), maka mereka terjebak dalam Tasybîh murni. Dan pendapat ini menyalahi yang diyakini kaum Salaf!

Tasybih murni itu ada dalam keyakinan kaum Yahudi, pada satu kelompok dari mereka yang disebut Qurrâîn, sebab dalam Tuarat terdapat kalimat-kalimat yang menunjukkan kepadanya.”[2]

Dalam kesempatan lain ia menguraikan sebagai berikut, “Ketahuilah bahwa mazhab Salaf dari kalangan para ulama hadis ketika menyaksikan kaum Mu’tazilah tenggelam dalam ilmu Kalam dan menyalahi Ahlusunnah yang mereka dapati sejak zaman para imam yang terbimbing (Râsyidîn), dan mereka dibela oleh para penguasa bani Umayyah atas pandangan mereka tentang taqdir, dan juga oleh sekelompok dari para khalifah bani Abbas dalam pandangan tentang sifat dan khalqul Qur’an… maka mereka (Salaf) kebingungan dalam menetapkan mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah tentang ayat-ayat dan khabar-khabar/hadis Nabi saw. yang mutasyâbihât.

Adapun Ahmad ibn Hambal, Daud ibn Ali al Ishfahâni dan sekelompok dari para imam Salaf, mereka berjalan di atas manjah Salaf terdahulu dari kelompok Ahli Hadis, seperti Malik, Muqâtil ibn Sulaimân, mereka menempuh jalan keselamatan, mereka berkata, ‘Kami beriman dengan apa yang datang dalam al Qur’an dan Sunnah dan kami tidak melibatkan diri dalam memaknai dengan makna apapun, setelah kami mengetahui dengan pasti bahwa Allah –Azza wa Jalla- tidak menyerupai sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Dan setiap apapun yang terbayang dalam waham kita maka Sang Maha Pencipta yang menciptakan dan menaqdirkannya. Mereka (Salaf) sangat berhati-hati dari tasybih (penyerupaan Allah SWT dengan makhluk-Nya) sampai-sampai mereka berkata, ‘Barang siapa mengerakkan tangannya ketika membaca ayat:

{خلقتُ بِيَدَيَّ}

Atau mengisyaratkan dengan dua jari-jarinya ketika menyampaikan riwayat:

قلبُ المؤمنِ بين إصبعين من أصابع الرحمن.

maka wajib tangannya untuk dipotong dan kedua jarinya dilepas.

Mereka berkata, ‘Kami menghindar dari menafsirkan dan mnakwilkannya (ayat-ayat/khabar-khabar shifatiyah) karena dua alasan:

Pertama, adanya larangan dalam Al Qur’an dalam firman Allah:

فَأَمَّا الَّذينَ في‏ قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَ ابْتِغاءَ تَأْويلِهِ وَ ما يَعْلَمُ تَأْويلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا وَ ما يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُوا الْأَلْبابِ

“…. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:” Kami beriman kepada ayat- ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran(daripadanya) melainkan orang- orang yang berakal.( QS. Âlu ‘Imrân/7)

Kedua, bahwa takwil adalah perkara yang masih disangka-sangka yang bisa jadi benar secara kebetulan. Sedangkan berbicara tentang sifat Allah dengan sangkaan adalah tidak boleh…

Adapun kaum Hasyawiyah, maka al Asy’ari melaporkan dari Muhammad ibn Isa bahwa ia menceritakan dari Mudhar, Kahmas dan Ahmad al Hujaimi bahwa mereka membolehkan Allah itu bersentuhan dan berjabat tangan dengan makhluk-Nya, dan kamum Muslimin yang ikhlash akan berpelukan dengan Allah di dunia dan di akhirat, tentunya jika mereka bersungguh-sungguh dalam mndekatkan diri sehingga mencapai derajat iskhlash dan menunggal penuh.

Al Ka’bi menceritakan dari sebagian mereka bahwa ia membolehkan Allah untuk dapat dilihat (dengan mata telanjang) di dunia dan mereka dapat mengunjungin-Nya dan Allah dapat mengunjungi mereka.

Dan ia menceritakan dari Daud al Jawâribi bahwa ia berkata, ‘Jangan tanyakan kepadaku apakah Allah punya alat fital dan jenggot atau tidak, tetapi tanyakan kepadaku tentang selainnya.’ Ia berkata bahwa Tuhan mereka adalah berfisik, jism terdiri dari daging dan darah, punya organ tubuh seperti tangan, kaki, kepala, lidah, dua mata, dua telinga, dll

Dinukil darinya bahwa ia berkata, ‘Allah itu berbutuh kosong tengah (seperti pipa_pen) dari bagian atas hingga dada, selebihnya padat, dan Dia berjambul hitam dan berambut keriting.

Adapun ayat yang datang dengan teks, istiwa’, wajah, tangan, janbun (punggung), datang, di atas … dan lain sebagainya, maka mereka berlakukan apa adanya secara lahiriyah. Yaitu sesusi yang difahami dalam makna bahasa ketika menggunakan kata-kata tersebut untuk sesutu yang bersifat bendawi. Begitu juga yang dimuat dalam khabar-khabar tentang posturisasi Allah dll, mereka berlakukan apa adanya sesuai dengan sifat-sifat fisik.

Mereka menambahkan lagi berita-berita palsu yang mereka buat-buat lalu mereka sandarkan kepada Nabi saw., yang kebanyakan khabar-khabar itu diambil dari kaum Yahudi, sebab tasybih di kalangan mereka sudah menjadi watak, sampai-sampai mereka berkata, ‘Tuhan sakit mata, lalu para malaikat menjenguk-Nya.’ ‘Allah menagisi atas kejadian banjir di zaman Nuh sampai-sampai mata-Nya sakit.’ ‘Arsy-Nya Allah berbunyi seperti bunyi kendaraan baru.’ Dan postur Allah melebihi besarnya Arsy-Nya selebar empat jari-jari.’[3]

Demikianlah, asy Syahrastâni melaporkan kepada kita dalam uraian panjangnya tentang ragam mazhab dan aliran tentang ayat-ayat dan hadis-hadis shifatiyah.

Dari uraian panjangnya dapat disimpulkan bahwa:

1) Mazhab Salaf yang diwakili oleh para imam besar dan Ahli Hadis seperti Ahmad ibn Hambal, Daud ibn Ali al Ishfahâni, Malik, Muqâtil ibn Sulaimân dan lainnya dalam ayat-ayat dan hadis-hadis shifatiyah adalah tafwîdh. Mereka berkata, ‘Kami beriman dengan apa yang datang dalam al Qur’an dan Sunnah dan kami tidak melibatkan diri dalam memaknai dengan makna apapun.’

2) Sebagian dari mereka menakwilkan ayat-ayat dan hadis-hadis shifatiyah dangan takwilan yang masih ditoleransi oleh lafadznya.

3) Sebagian Salaf berlebihan dalam sikap mereka dalam menetapkan sifat sampai-sampai mereka terjatuh dalam tasybîh/menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

4) Sekelompok mutakhkhirîn tidak konsisten di atas jalan Salaf dengan menambah dari apa yang diucapkan Salaf, mereka berkata, ‘Kita harus memberlakukan pemaknaannya secara dzahir/apa adanya, dan menafsirkannya sesuai denga khabar yang datang, tanpa menakwilkannya dan berhenti, maka mereka terjebak dalam Tasybîh murni. Dan pendapat ini menyalahi yang diyakini kaum Salaf!

5) Akidah Tasybih yang dipelopri oleh sebagia orang seperti Daud al Jawâribi, Mudhar, Kahmas dan Ahmad al Hujaimi dkk adalah akidah sesat yang diadopsi dari ajaran Yahudi.

6) Kaum Hasyawiyah menetapkan atas Allah sifat berpindah-pindah, naik turun, bersemayam dan bertempat.

Dari uraian di atas Anda dapat menyaksikan langsung bagaimana mazbah Salaf seperti Imam Malik, Imam Ahmad dkk. Mereka tidak mau melibatkan diri dalam memaknai setiap kata/sifat yang dimuat dalam Al Qur’an maupun hadis! Bukan memaknai dengan makna apa adanya secara lahiriyah kebahasaannya.

Dan akidah tasybih, seperti yang diyakini kaum Yahudi, khususnya dari sekte Qarrâîn ternyata adalah akidah yang diyakini dan diperjuangkan Ibnu Taymiah!!

Akidah kaum Hasyawiyah yang disebutkan di atas juga akidah yang diyakini Ibnu Taymiah dan diperjuangkannya sampai-smpai ia mengafirkan sesiapa yang tidak meyakininya.

Setelah Anda membaca laporan dan uraian asy Syahrastâni tentang mazhab Salaf, sekarang mari kita baca laporan Ibnu Taymiah ketika menggambarkan mazhab Salaf. Dan perlu selalu Anda ingat bahwa Anda berhak curiga terhadap penukilan Ibnu Taymiah atas nama Salaf atau siapapun, sebab sudah terlalu sering “Syeikhul Islam” yang satu ini menipu kita dengan kepalsuaan-kepalsuan klaimnya, sehingga sebagian orang berkata humor, ‘Andai Allah mewajibkan atas hamba-hamba-Nya untuk berbohong lalu mereka mena’ati-Nya dalam perintah itu niscaya mereka tidak akan mampu mendatangkan kepalsuan dan kebohongan lebih dari yang sudah dipraktikkan Ibnu Taymiah.’

Ketika menafsirkan ayat:

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.”(QS. Thaha/5)

Ibnu Taymiah berkata:

“Barang siapa menakwilkannya; makna ayat dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Arsy di sini adalah kerajaan dan yang dimaksud dengan istawâ adalah menguasai, maka mereka tidak menghargai Allah denga sebenar penghargaan, dan tidak mengenal Allah dengan sebenar arti makrifat!!”[4]

Dari pernyataan di atas terlihat jelas bahwa Ibnu Taymiah telah menetapkan batasan bagi Allah. Allah SWT beristiwâ’ di atas Arsy-Nya dengan makna dzahirnya yaitu bersemayam. Arsy itu akan meliputi-Nya… jika Anda menggambarkan Allah SWT dengan gambaran di atas maka menurut Ibnu Taymiah Anda benar-benar telah menghargai dan mengenal Allah dengan sebenarnya!!

Di sini Anda dapat memerhatikan dengan jelas bahwa Ibnu Taymiah tidak berpegang dengan mazhab Salaf yang tidak mau melibatkan diri dalam mekanai ayat-ayat sifat dan hanya cukup memberlakuakn ayat-ayat semacam itu tanpa mekanainya…. Dan juga Ibnu Taymiah tidak bermazhab dengan mazhab kubu Mu’awwilah yang menakwilkan ayat-ayat tersebut dengan makna selain makna dzahirnya demi menyucikan Allah dari tasybih!! Sebab dalam anggapannya, barang siapa menakwil maka ia telah berpendapat seperti pendapatnya kaum Mu’aththilah yang menafikan sifat-sifat seperti sifat ilmu, hayat, qudrat dll. bagi Allah SWT.

Tetapi tentunya anggapannya itu salah besar, sebab kaum Mu’aththilah itu menafikan sifat azaliyah Allah, sementara yang ia tetapkan bagi Allah adalah sifat sifik/bendawi, seperti naik-turun, duduk…. Dan antara keduanya terdapat perbedaan yang mencolok!

Apapun alasan yang mendorongnya, tetap yang ia katakan adalah salah!

Sampai di sini, tidaklah terlalu berbahaya, karena sebelum Ibnu Taymiah menyuarakan mazhab dan pandangannya tentang ayat-ayat dan hadis-hadis sifat, kaum Mujassimah pun telah lebih dahulu dan tidak kalah vokalnya dengan Ibnu Taymiah…. Akan tetapi bahaya sebenar arti bahaya ialah ketika Ibnu Taymiah menisbatkan kesesatan pendapatnya kepada kaum Salaf! Dan mengklaim –seperti kebiasaaan lamanya- bahwa demikianlah mazhab Salaf tanpa terkecuali!! Aku –kata Ibnu Taymiah- telah melahap seluruh tafsir Salaf dan tak kutemukan mereka menakwilkan dengan selain makna lahiriyah kebahasaan yang ada!!

Perhatikan keterangan Ibnu Taymiah di bawah ini dan bandingkan dengan laporan asy Syahrastâni sebelumnya!

“Adapun pendapat yang saya ucapkan dan saya tulis sekarang, –kendati dahulu saya tidak menulisnya dalam jawaban-jawaban saya, tetapi saya sampaikan dalam banyak majlis-majlis ilmu-, bahwa seluruh ayat shifatiyah dalam Al Qur’an maka tidak ada peselisihan di kalangan sahabat tantang takwilnya. Aku telah meneliti tafsir-tafsir yang dinukil dari para sahabat, dan yang diriwayatkan para ulama hadis, dan aku telah membaca kitab-kitab besar maupun kecil dalam julmah lebih dari seratus tafsir, tetapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan seorang pun dari sahabat Nabi yang menakwilkan satu pun dari ayat-ayat sifat atau hadis-hadsi sifat dengan selain makna dzahirnya yang difahami dan makruf.”[5]

Dan untuk mengetahui apakah kali ini Ibnu Taymiah telah meninggalkan kebiasaan berbohongnya serta tabi’at buruknya dalam kegemaran menipu dan memalsu, saya ajak Anda untuk merujuk satu di antara kitab tafsir andalan Ibnu Taymiah sendiri yang ia sifati dengan ‘sebaik-baik tafsir yang tidak memuat bid’ah dan tidak pula meriwayatkan dari orang-orang tertuduh’… tafsir itu adalah tafsir Ibnu Jarir ath Thabari –tokoh tafsir Salaf terkemuka-….

Ketika Ibnu Taymiah ditanya tantang tafsir yang paling dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah, maka ia menjawab, “Adapun tafsir-tafsir yang beredar di tangan orang-orang, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad ibn Jarir ath Thabari. Ia menyebutkan ucapan-ucapan Salaf dengan sanad yang kokoh, di dalamnya tidak terdapat bid’ah dan ia tidak menukil dari orang-orang yang tertuduh, seperti Muqatil dan al Kalbi. [6]

Dan tepatnya pada ayat yang dinilainya sebagai paling agungnya ayat sifat[7] yaituAyat al Kursiy ayat 255 surah al Baqarah yang berbunyi:

اَللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَ لاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِي الْأَرْضِ مَن ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَ مَا خَلْفَهُمْ وَ لاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْئٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ وَ لاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ.

“Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Hidup nan Berdiri Sendiri. Ia tidak mengantuk dan tidak tidur. Hanya bagi-Nya seluruh yang ada yang di langit dan di bumi. Tidak ada orang yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Ia mengetahui segala yang berada di hadapan dan di belakang mereka, dan mereka tidak menguasai sedikit pun dari ilmu-Nya melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi-Nya meliputi seluruh langit dan bumi, dan Ia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Ia Maha Tinggi nan Maha Agung. “

Jika Anda merujuk tafsir ath Thabari, maka pertama laporan yang akan disajikan olehnya adalah dua hadis yang beliau riwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra.

Ibnu Jarir berkata:

“Ahli takwil berselisih tentang makna al Kursiy. Sebagian dari mereka berkata ia adalah ilmu Allah -Ta’alâ-.

Dzikru, sebutan tentang orang yang berpendapat demikian:

o Abu Kuraib dan Salami ibn Jinadah dari Ibnu Idris dari Mathraf dari Ja’far ibn Abi al Mughirah dari Sa’id ibn Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata:

{كرسيه} علمه.

“Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.”

o Ya’qub ibn Ibrahim dari Hasyîm dari Mathraf dari Ja’far ibn Abi al Mughirah dari Sa’id ibn Jubair dari Ibnu Abbas:

{كرسيه} علمه.

“Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.”

Tidakkah engkau memerhatikan firman-Nya:

وَ لاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا

“dan Ia tidak merasa berat memelihara keduanya.”[8]

Ketika kita menyakisikan Ibnu Jarir mengawali uraiannya dengan mengatakan“Ahli takwil berselisih tentang makna al Kursiy” justru kita baca Ibnu Taymiah mamastikan dengan tegas bahwa Salaf tidak berselisih barang sedkitipun tentang masalah ini!!

Ketika kita mendapat Ibnu Taymiah memastikan dengan yakin bahwa, “aku telah membaca kitab-kitab besar maupun kecil dalam julmah lebih dari seratus tafsir, tetapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan seorang pun dari sahabat Nabi yang menakwilkan satu pun dari ayat-ayat sifat atau hadis-hadsi sifat dengan selain makna dzahirnya yang difahami dan makruf”, justru kita menyaksikan Ibnu Jarir –Syeikhu as Salaf ash Shaleh- mengawali uraiannya dengan menyebut takwil sahabat Ibnu Abbas ra. yang membubarkan klaim palsu Ibnu Taymiah dan menjadikannya bak daun-daun kering di musim gugur yang ditiup anging kencang!!!

Ibnu Taymiah memproklamirkan mazhab Hasyawiyah yang memalukan yang sempat dihimpung ath Thabari namun ia tolak … Ibnu Taymiah mempopulerkan mazhab Hasyawiyah yang mengatakan bahwa Kursiy Allah adalah tempat Allah meletakkan kedua kaki-Nya atau ia adalah singgasana yang Allah duduk di atasnya…. dan ia kerena beratnya beban yang mendudukinya maka ia bersuara seperti suara yang terdengar dari kendaraan/kereta, andong yang baru!!

Setelah menukil beberapa tafsir selain tafsir Ibnu Abbas ra., ath Thabari menutupnya dengan mengatakan, “Adapun yang menunjukkan kebenaran takwil Ibnu Abbas bahwa Kursiy adalah ilmu Allah adalah firman-Nya:

وَ لاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا

“dan Ia tidak merasa berat memelihara keduanya.” (hingga akhir uraiannya, Anda dapat merujuknya langsung dengan lengkap)

Setelah itu, ath Thabari berpindah menafsirkan bagian akhir ayat yang juga merupakan ayat-ayat sifat:

وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ.

“Dan Ia Maha Tinggi nan Maha Agung.“

Kaum Mujassimah mengartikan ayat di atas dengan ketinggian Allah secara fisik, yang mereka ungkapkan dengan istilah al ‘Uluw al Hissi/ al ‘Uluw ad Dzâti/ al ‘Uluw Haqiqatan, yaitu sisi atas, bukan ketinggian kedudukan seperti yang diyakini Ahlusunnah. Pendapat kaum Mujassimah inilah yang diyakini dan dibela serat diperjuangkan Ibnu Taymiah.

Ath Thabari berkata:

“Para peneliti berselisih pendapat tentang firman-Nya:

وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ.

“Dan Ia Maha Tinggi nan Maha Agung.“

Sebagian mereka berkata, ‘Yang dimaksud dengannya adalah Allah Maha Tinggi dari ada yang menandingi dan menyerupai.’ Mereka menentang jika maksudnya adalah ketinggian tempat/sifik al ‘uluw al makâni. Mereka berkata, ‘Tidak boleh sebuah tempat kosong dari-Nya, dan tidaklah bermakna kita mensifati-Nya dengan ketinggian tempat, sebab mensifatinya demikian berati Dia berada di tempat tertentu dan tidak di tempat lain.”[9]

Inilah total ucapan Salaf tentang ayat sifat teragung, sengaja saya bawakan agar dapat Anda saksikan langsung…. dan setelahnya Anda dapat menilianya sendiri apa nilai omongan dan klaim Ibnu Taymiah ketika ia berkata: “aku telah membaca kitab-kitab besar maupun kecil dalam julmah lebih dari seratus tafsir, tetapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan seorang pun dari sahabat Nabi yang menakwilkan satu pun dari ayat-ayat sifat atau hadis-hadsi sifat dengan selain makna dzahirnya yang difahami dan makruf”,!!!

Salahkah jika setelah itu ada yang terpaksa mengatakan , “Sepertinya Anda -wahai Syeikhul Islam”- belum juga berniat mau berhenti berdusta atas nama Salaf?!” “Mengapa begitu sulit atasmu meninggalkan kebiasaan buruk berbohong atas nama pembesar umat?!” Kami sudah lama menanti dan menanti barang sekali saja engkau berkata jujur dan tidak menipu kami!”

Dan ini, sekali lagi adalah bukti terkini yang saya hadirkan untuk para pecinta blog kami…. nantikan seri-seri kebohongan dan kepalsuan Ibnu Taymiah lainnya!


[1] Ibnu Taymiah dan juga para pengikutnya yang sekarang diwakili oleh kelompok Sekte Wahhabi, menyebut diri mereka Ahlusunnah dan pewaris sejati kubu Salaf, sementara itu mazhab Asy’ariyah mereka ejek dengan menyebutnya sebagai Mu’aththilah yang tentunya mereka kelompokkan sebagai Ahli Bid’ah!

[2] Al Milal wa an Nihal,1/84-85, Bab ketiga.

[3] Ibid.95-97.

[4] Tafsir al Kabir;Ibnu Taymiah,1/270.

[5] Tafsir surah an Nur:178-179.

[6] Mukadddimah fî Ushûl at Tafsir:51 dan at Tafsir al Kabir,2/255.

[7] Al fatâwâ,6/322.

[8] Tafsir Jâmi’ al Bayân; Ibnu Jarir ath Thabari,3/7.

[9] Ibid.9.

20 Responses to “Ibnu Taymiah Memalsu Mazhab Salaf”

  1. Alhamdulillah, kajian dari Blog ini berlanjut lagi, kali ini dengan topik akidah, yg juga sangat menarik.
    Banyak dari khoth Hijaiyyah dalam tulisan di atas tidak tampil dgn benar. Mohon Penulis Blog memperbaikinya. Syukron.
    Salam ‘alaykum.

    Kami Menjawab:

    Terima kasih kepada Anda tetap setia mengikuti kajian kami di situs ini. Dan terima kasih juga buat tegurannya… tapi kalau tidak merepotkan tolong bapak sebutkan saja mana yang salah biar kami perbaiki.

  2. Mohon maaf, tampaknya Firefox saya menampilkan sebagian karakter Hijaiyyah secara salah (karakter kotak-kotak). Saya copy, paste ke word processor, ternyata semua karakter Hijaiyyah dalam tulisan di atas bisa tampil dengan benar di word processor. Mohon maaf atas komentar yg tidak akurat.
    Salam ‘alaykum.

    Kami Menjawab:

    Terima kasih mas… tidak apa-apa.

  3. @badari

    saya juga mengalami seperti saudara dengan browser firefox, tapi setelah program “arabic” dalam window saya aktifkan hal tersebut hilang (yakni fire fox bisa menampilkan huruf arab dengan sempurna) dan kotak-kotak seperti yang anda sebutkan hilang.

    memang setiap browser mempunyai plus dan minus nya.

    jika saya pake browser internet explorer atau opera. saya bisa membaca tulisan arab dalam wordpress tanpa harus mengaktifkan (instal) window arab nya.

    sekian makasih !

  4. anda sangat gegabah,,anda telah memfitnah ibnu taymiyah,,saya yakin anda belum pernah membaca kitab karya beliau..sungguh benar apa yang di katakan ibnu hajar al asqolani :
    من تحدث في غير فنه أتى بالعجائب

    Kami Menjawab:

    Saya yakin, jika Ibnu Taymiyah membaca tanggapan kamu pasti ia malu kamu bela!
    Kalau kamu tidak percaya ya rujuk aja langsung ke buku yang saya sebutkan!
    Lagi pula mulai kapan sih orang Wahhabi ikut-ikutan jadi Ahli Nujum, niru-niru Mama Lorend… nebak-nebak segala bahwa saya:,,saya yakin anda belum pernah membaca kitab karya beliau.. Memangnya kamu tau ghaib? Syirik itu bung.
    Tadinya saya mau menuruti nasihat seorang penyair bijak yang mengatakan:
    إذا نطق السفيه فلا تجبه** فخير من إجابته السكوت

    tapi, saya pikir biar kamu tidak merasa seperti itu, ya saya jawab aja.

  5. Menghujat sesama muslim sebagai pembohong dan pemalsu mahzab salaf merupakan perbuatan yang sangat berani dan mungkin akan sangat menyakitkan bagi orang-orang yang pro dan mengerti dengan baik siapakah ibnu taimiyah. Saya tidaklah terlalu paham tetntang ibnu taimiyah, tetapi yang saya tahu sesama muslim adalah satu tubuh yang seluruh tubuh, harta dan keluarganya haram untuk disakiti. apakah anda tidak takut kalau-kalau saja yang anda tulis ini tidak benar? karena kita tidak pernah mengetahui keimanan seseorang, hanya Allah yang mengetahuinya. Moga Allah mengampuni kesalahan-kesalahan kita. Amin

    Kami Menjwab:
    P
    Pepatah Arab berkata:
    زلة العالِم زلة العالَم

    Ketergelinciran seorang alim adalah ketergelinciran alam.
    ketika seorang yang alim berbica dan memalsu maka pengaruhnya sangat besar… satu kalimat saja dari seorang alim bisa memberi hidayah jutaan umat manusai, sebagaimana satu kalimat saja menyesatkan jutaan orang… ketika seorang alim tidak takut kepada Allah dari memalsu dan menipu maka wajib bagi yang mengetahuinya untuk membongkarnya… itulah yang kami lakukan di sini!
    Coba Anda perhatikan betapa banyak edisi kepalsuan yang telah diluncurkan Ibnu Taymiah!!

  6. Ketergelinciran seorang alim adalah ketergelinciran alam.

    lalu bagaimana dengan ketergelinciran kami orang awwam ya akhina…………

  7. COBA SEBUTKAN SAMA KALIAN MURID2 IBNU TAIMIYAH… SIAPA SAJA MEREKA? DISITU PASTI ADAMURIDNYA YANG BERNAMA IBNU KATSIR, BAGAIMANA PENDAPAT KALIAN TENTANG IBNU KATSIR….

  8. Salam buat anda semua,
    Penulis maupun komentator benar adanya, Ibnu Taimiyah perlu dikritisi, jika tidak pemikirannya sangatlah berbahaya, memaknai teks apa adanya adalah memungkiri keluasan ayat-ayat Allah yang mutasyabihat atau bahkan kekerdilan pola pikir. Hati-hati karena kedangkalan berfikir bisa menyebabkan kebodohan yang diturunkan. Nah inilah hasil produknya, Umat islam saling hantam predikat kafir dan lupa untuk membangun diri. Bari bangkit tetaplah kritis, Kitab hanyalah tulisan karya ilmiah yang pasti punya antitesis. Jangan takut untuk kritis tapi yang bersumber jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

  9. ketergelinciran seorang alim adalah ketergelinciran alam.
    saya ingin tahu siapa orang alim yang sejenis dengan ibn taimiyah? tolong sebutkan beberapa yang jahatnya parah spt dia..
    syukron,,=)

    Salam kenal:

    untuk sementara ini saya belum menemukan seorang yang separah Ibnu taymiah dalam penyimpangannya.

  10. to Iyan
    gua Rasa Ibnu Katsir sama aja gurunya
    coba aja kaji kitabnya Bidayah wan nihayah
    ketika ia dibab tentang sejarah tokoh Abu Bakar
    hampir hampir satu hadis pun ngga ada yang di
    katakan tidak sohih atau sohih
    tetapi ketika ia sampai pada Tokoh Imam Ali.As
    wah wah wah ….masih halaman 3atau 5 ia mulai
    seperti gurunya ngga buang .
    namun sepandai pandai tupai melompat
    ia terjebak sendiri .
    yang namanya kebenaran ngga bisa tertutupi
    yyaaa kan

  11. waduh ini saling mempertahankan argumen masing2 yang pada initinya dikuasai nafsu belaka. penulis dari bolg ini pun dari awal memang sudah tidak melihat Ibn Taymiyah secara fair, ya gak mgkin akan melihat kebenarannya. soal pembahasan ini telah banyak buku-buku syiah yang diterbitkan dalam bahsa farsi, jadi ya wajarlah telah menulis sebanyak ini. dan saya tidak begitu kagum atas tulisan di atas karena alasan dan argumen yang disampaikan baik dalam bahsa farsi, arab ato indo sama aja. berrti jelas yang berbahsa indo tggl nerjemahin…saudara2ku tdk ada gunanya berlarut2 dalam pembicaraan yang klasik seperti dan ini sdh dibicarakan dari zaman ke zaman dan argumennya itu2 saja…baiknya sekarang adalah saling menghormati dan toleransi.

    Kami menjawab:

    Kekaguman Anda bukan impian kami! kami menulis untuk pencerahan pemikiran mereka yang haus informasi yang benar!
    Lalu apa kaitan pembahasan yang kami tulis di atas dengan Syi’ah?
    Sepertinya ini cara baru kaum wahhabi dalam membela diri dengan mengambing-hitamkan Syi’ah yang menghujat Ibnu Taymiah…

  12. Indah manusia karena akhlak, Indah bulan karena cahaya, Indah persahabatan karena

    kejujuran, Indah cinta karena kasih sayang dan Indahnya IDUL FITRI saling bermaafan.

    Taqobalallahu Minna Wa Minkum, shiyamana wa shiyamakum.

    Dengan segala kerendahan hati, Riva Fauziah beserta Keluarga memohon maaf lahir dan

    batin untuk segala Kekhilafan & Kesalahan, untuk Lisan Yang Tak Terjaga, Hati yang

    Terabaikan, Sikap Yang Pernah Menyakitkan. SELAMAT IDUL FITRI 1 Syawal 1429 H.

    Sukses selalu dan salam dari BLOGGER Cianjur

    Kami Menjawab:

    Amin… sama-sama.h

  13. SEBUTKAN JUGA PUJIAN-PUJIAN ULAMAK SUNNAH YANG SEZAMAN DGNNYA. JANGAN JADI MUNAFIK DGN MENYEMBUNYIKAN FAKTA SEJARAH.


    Kami Menjawab:

    Para ulama yang sezaman dengannya telah mengenal siapa Ibnu Taymiah, sampai-sampai adz Dzahabi yang tadinya terkagum dengannya pada akhirnya mengecamnya karena penyimpangannya!
    jadi apa yang saudara maksud dengan menyembunyikan fakta sejarah.

  14. Saya amat yakin golongan wahabi ini sesat. kalau tidak sesat nescaya majoriti ulama Sunnah menyokong. majoriti ulama sunnah tidak mengikut nafsu dalam menharam/menyesat sesuatu aliran melainkan aliran itu sudah menyimpang dari landasan.

  15. ITULAH GAYA WAHABI

    AWAS WAHAYA LATEN WAHABI

  16. dari Abu Hurairah, bahwasanya Rosulullah bersabda: “Rabb kalian turun ke langit dunia setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. siapa yang minta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang memohon ampun pada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    para salaf (yang menurut orang2 NU dan awam disebut dengan wahabi), siafat turunnya Alloh ini adalah hakiki. mereka beriman dan membenarkannya meskipun amat sulit ditangkap panca indera dan logika, tanpa men-tahrif (mempertanyakan bagaimana), men-ta’thil (menafikan), men-takwil (menyelewengkan) dan men-tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).

    syubhat yang sering mengalir, “meyakini bahwa Alloh turun artinya meyerupakan-Nya dengan makhluk” dengan dalil: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Alloh.” (QS. asy-Syura:11)

    anehnya, mereka melewatkan lanjutan ayat tersebut: “…dan Dia lah yang maha Mendengar dan Maha melihat.” (QS. asy-Syura:11)

    dalam ayat tersebut ada sifat Alloh Maha mendengar dan melihat. kita tanyakan, apakah pendengaran dan penglihatan Alloh sama dengan pendengaran dan penglihatan manusia??? jawabnya adalah tidak, dan kita tetap meyakini sifat2 tersebut.

    karena itu, sikap yang seharusnya adalah mengimani bahwa Alloh turun, tapi turunnya Alloh berbeda dengan turunnya makhluk. entah bagaimana kita tidak boleh mempertanyakan maupun membayangkan. tidak menafikan dan tidak meyerupakan dengan makhluk.

    jika maknanya ditakwilkan menjadi turunnya rahmat, barokah dan ampunan, maka tidak seharusnya Rosulullah menggunakan kata “Rabb”.

    saya kira, tidak ada jalan bagi orang2 yang hendak menentang keshahihan hadits di atas karena hadits di atas derajatnya mutawatir. ada sekitar 31 orang sahabat yang meriwayatkannya, di antaranya: Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id al-Khudri dan lainnya

    Kami Menjawab:

    Mas rofi, setelah sabar membaca komentar anda saya kok melihat belum menyentuh inti masalahnya… apa salah saya mengatakan bahwa Ibnu Taymiah itu memalsu atas nama Salaf?

    Masalah hadis Abu Hurairah, anda katakan bahwa sifat turun itu hakiki, apa maksudnya? Tolong terangkan makna kata nazala itu apa dalam bahasa Arab.

    Masalah pemaknaan beberapa ayat yang anda sebutkan, tolong diteliti kembali mas, biar pasti dan tidak terjebak dalam man fassaral Qur’ana Bi ra’yihi. Dan saya sarankan agar anda juga mau meneliti dalil-dalil mereka yang tidak sependepat dengan pandangan yang sementara ia anda yakini.
    Lalu hadis itu anda katakan mutawatir apa buktinya? Siapa di antara ulama yang mengatakannya? Di kitab apa saya bisa temukan?
    Makasih ya mas.

  17. syehhh teliti apa yang anada kata..kalo anta tak teliti anda bakal tanggung dosa dgn apa yang enta buat..jika ianyer tidak ben
    ana hormat ulama..ulamak bukan ma’sum…

  18. Shalawat atas Muhammad dan AhlulBaitnya…..
    Penulis Blog semoga anda dirahmati Alloh, akal picik kalian akan dituntut oleh AmirulMu’minin Alaihi Salam di akhirat kelak, menghina ulama, memfitnah seorang fuqaha’, meskipun Imam Taqiyuddin rahimahullah seorang pembesar sunni yang mulia, anda tidak boleh semena-mena menghina beliau, menghina murid-muridnya, ataupun keluarganya, anda telah mencoreng muka AhlulBait yang selalu berakhlak mulia walaupun kpd orang yang dianggap musuh, wajar jika beliau terjatuh dalam kesalahan, namun bukankah sebaiknya anda mendoakannya dengan kebaikan….tunggu hari yang dijanjikan nanti, Imam ‘Ali yang akan menuntut kalian!!

    Kami Menjawab:
    Akhi fillah (hhadakallahu Ilal haq), apa anta sudah mengecek apa yang kami cantumkan sehingga anta gegebah mengatakannya fitnah?! mana tabayyun anta?
    Apa anta tidak siap menyanksikan pujaan anta ternyata separah itu kualitasnya?!
    Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.